Senin, 17 Juli 2023

MENELAAH PERMASALAHAN HAK CIPTA TERHADAP MODIFIKASI DAN KEPEMILIKAN KARYA HASIL ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)

 

MENELAAH PERMASALAHAN HAK CIPTA TERHADAP MODIFIKASI DAN KEPEMILIKAN KARYA HASIL ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)

Penulis: Octavia Zauzah Rachmah

            Seiring dengan perkembangan teknologi, permasalahan terhadap kekayaan intelektual terutama hak cipta kian mudah terjadi. Hadirnya teknologi Artificial Intelligence atau AI memungkinkan suatu karya ciptaan dapat dimodifikasi, diduplikasi, dan juga disebarluaskan tanpa izin. Beberapa tahun terakhir, penggunaan kecerdasan buatan atau AI untuk menciptakan sebuah karya seni merupakan suatu hal yang semakin populer. Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan adalah simulasi dari kecerdasan yang dimiliki manusia yang dimodelkan di dalam mesin dan di program agar bisa berpikir seperti halnya manusia. Dengan kata lain, AI merupakan sistem komputer yang dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan tenaga atau kecerdasan manusia. Teknologi AI ini dapat menciptakan berbagai karya seperti gambar, musik, video, dll. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan AI memiliki beberapa proses seperti learning, reasoning dan self correction sehingga ia dapat menciptakan suatu karya dan bahkan dapat menduplikasi serta memodifikasi suatu karya.

            Hasil karya yang diciptakan menggunakan Artificial Intelligence (AI) memiliki implikasi terhadap Undang-Undang Hak Cipta karena teknologi AI memungkinkan komputer untuk dapat menghasilkan karya kreatifnya sendiri dan juga memodifikasi karya yang sudah ada. Karya seni yang dihasilkan AI terkadang berbeda dengan kumpulan data asli dan mungkin menghasilkan karya asli sepenuhnya. Namun, karena algoritma yang digunakan AI didasarkan pada data yang sudah ada sebelumnya, memungkinkan karya seni yang dihasilkan dapat melanggar hak cipta orang lain. Oleh karena hasil karya AI merupakan suatu modifikasi dari karya yang sudah ada, tentunya hal tersebut melanggar hak cipta. Hak cipta sendiri merupakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual (HKI) di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Mengenai hak cipta telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

            Di Indonesia, permasalahan terkait hak cipta merupakan permasalahan yang banyak dijumpai dan menjadi sorotan, salah satunya pelanggaran hak cipta mengenai modifikasi karya cipta. Dengan kemampuan AI yang dapat memodifikasi karya dari data-data yang terkumpul memungkinkan terjadinya pelanggaran hak cipta pada karya yang dihasilkannya. Di sosial media saat ini sudah sering sekali bermunculan gambar, musik, video dan karya seni lain yang dimodifikasi menggunakan AI. Hasil karya yang dihasilkan AI ini memiliki kesamaan dengan karya asli. Lalu bagaimanakah pengaturan mengenai modifikasi suatu karya termasuk AI?

Pengaturan hukum mengenai modifikasi karya cipta telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dalam pengaturan tersebut, Perlindungan hak cipta terbagi menjadi dua yaitu Perlindungan terhadap hak moral dan Perlindungan hak ekonomi. Perlindungan terhadap hak moral pencipta untuk :

  1. Tetap atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya yang digunakan untuk kepentingan umum;
  2. Tetap menggunakan nama asli atau nama alias pencipta dalam karyanya;
  3. Tetap mempertahankan haknya bila terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri dan reputasinya.

Hak moral yang terdapat dalam hak cipta memiliki maksud untuk memberikan kepastian kepada pencipta karya yang merupakan pemegang hak cipta untuk dapat mengendalikan presentasi dan modifikasi terhadap hasil karya ciptanya. Modifikasi karya cipta dalam UU No. 28 Tahun 2014 diperbolehkan dan dilindungi apabila karya adaptasi tersebut memenuhi unsur modifikasi dan mendapatkan izin lisensi dari pemilik karya cipta asli. Pengaturan untuk mendapatkan izin lisensi telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Syarat dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual pada pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 7. Jika terbukti bahwa modifikasi yang dilakukan tidak mendapatkan izin lisensi maka hal itu termasuk kedalam penggandaan suatu karya cipta dan dapat diberikan sanksi sesuai yang tecantum dalam pasal 113 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Penggandaan karya cipta yang dilakukan tanpa izin dan lisensi dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 113 ayat 3 yang berbunyi: “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Berdasarkan pengaturan tersebut, sebaiknya sebuah karya hasil modifikasi AI harus memenuhi unsur modifikasi dan mendapatkan izin lisensi dari pencipta asli terlebih dahulu sehingga hasil karya itu diperbolehkan dan apabila telah ada regulasi yang jelas terkait AI, hasil karya tersebut dapat dilindungi. Selain itu, hasil karya AI juga harus memperhatikan hak moral yang dimiliki pencipta yaitu dengan tetap mencantumkan nama pencipta asli dari hasil karya yang dimodifikasinya. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta telah dialihkan. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa hasil karya AI itu melanggar hak cipta atau CopyRight. Dengan begitu, hasil modifikasi karya AI ini dapat dijatuhi sanksi sesuai ketentuan Undang-undang yang berlaku.

            Lalu bagaimana persoalan terkait dengan kepemilikan dan hak cipta atas karya hasil AI? Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta, perlindungan hak cipta diberikan kepada “karya cipta” asli dan dalam bentuk nyata. Undang-undang ini juga memberikan perlindungan untuk program komputer, yang mungkin mencakup algoritma yang digunakan untuk membuat karya yang dihasilkan AI. Kemudian, Undang-Undang mendefinisikan pencipta sebagai orang yang menciptakan karya, tetapi tidak membahas kemungkinan pencipta non manusia. Oleh karena itu, belum jelas apakah hak cipta atas karya yang dihasilkan AI ini adalah milik orang yang membuat AI, orang yang memiliki program AI, atau program AI itu sendiri. 

Dengan adanya teknologi AI ini tentunya memberikan keuntungan bagi manusia karena sangat membantu pekerjaan manusia dalam berbagai bidang termasuk membuat musik, gambar dan video. Namun, perlu diingat bahwa keberadaan AI ini memberi tantangan baru, dimana AI dapat menghasilkan suatu karya dan memodifikasi karya orang lain. Dapat diartikan bahwa AI dapat membuat suatu karya sehingga dapat menggantikan pekerjaan manusia. Manusia harus lebih kreatif berkreasi terutama dalam bidang seni dengan menggunakan perasaan dan pikiran yang belum dapat dijangkau oleh AI. Selain itu, dibutuhkan suatu regulasi yang jelas dan khusus terkait persoalan hak cipta terhadap modifikasi dan kepemilikan hasil karya AI tersebut mengingat saat ini penggunaan teknologi AI ini sudah masif digunakan. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Budhijanto, D. 2007. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Era Digital. URL: https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-kekayaan-intelektual-dalam-era-digital-hol17077/. Diakses pada tanggal 14 Juli 2023, Pukul 18.56.

Gandhawangi, S. 2022. Pelanggaran Hak Cipta Kian Mudah Terjadi. URL : https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/05/18/pelanggaran-hak-cipta-kian-mudah-terjadi. Diakses pada tanggal 14 Juli 2022, Pukul 14.23.

Halim, H. 2023. Perspektif Komparatif Tentang Masalah Kepemilikan dan Hak Cipta Dalam Karya Seni Yang Dihasilkan AI: Pandangan Dari Hukum Uni Eropa Dan Indonesia. URL: https://kliklegal.com/perspektif-komparatif-tentang-masalah-kepemilikan-dan-hak-cipta-dalam-karya-seni-yang-dihasilkan-ai-pandangan-dari-hukum-uni-eropa-dan-indonesia/. Diakses pada tanggal 14 Juli, Pukul 15.43.

Kompasiana. 2023. Apakah Karya AI Dapat Menyayingi Hasil Karya Seniman Asli?. URL: https://www.kompasiana.com/noor61655/643d13b6a7e0fa15e8217ca2/apakah-karya-ai-dapat-menyayingi-hasil-karya-seniman-asli. Diakses pada tanggal 14 Juli 2023, Pukul 20.45.

Taupiqqurrahman, Aina. A, & Hadi. S. 2021. Perlindungan Hak Cipta Terkait Pelanggaran Modifikasi Karya Ciptaan Asing Yang Dilakukan Tanpa Izin Di Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum Volume 4 Nomor 1.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

 

 

Penerapan Hukum Terhadap Artificial Intelligence Dalam Cyber Crime

 

Penerapan Hukum Terhadap Artificial Intelligence Dalam Cyber Crime

Penulis: Muti Astuti

Teknologi dengan menggunakan kecerdasan buatan atau yang sering disebut dengan Artificial Intelligence (AI) merupakan bagian dari perangkat computer yang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Artificial Intelligence (AI) lahir sebagai salah satu perwujudan dari pesatnya perkembangan teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang sedang ramai menjadi perbincangan global. AI merujuk pada program komputer yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan, logika, dan karakteristik kecerdasan lainnya [1]

Kehadiran artificial intelligence yang memberikan kemudahan serta mendorong perkembangan teknologi digital dalam kenyataannya memiliki banyak ancaman. Kejahatan siber atau cyber crime yang menggunakan Artificial Intelligence dapat menjadi kejahatan berbahaya sehingga memerlukan perhatian ekstra. Cyber crime adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan teknologi computer yang seorang korban menderita atau akan telah menderita kerugian dan seorang pelaku dengan sengaja memperoleh keuntungan atau akan telah memperoleh keuntungan (Hamzah, 1993;18).[2] Salah satu bentuk ancaman berbahaya bagi pengguna teknologi yaitu Malware berbasis AI. Malware berbasis AI adalah jenis malware yang menggunakan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence untuk memperbaiki kemampuannya dalam menyebar dan menyerang. Malware ini dapat mempelajari pola penggunaan dan perilaku pengguna internet,  yang merupakan program yang dirancang untuk mencuri data, merusak system, atau melakukan kejahatan lainnya. Contoh kejahatan malware berbasis AI adalah:[3]

1.     Serangan phising yang lebih canggih: malware berbasis ai dapat mempelajari pola perilaku pengguna dan membuat pesan phising yang lebih meyakinkan dan sulit untuk terdeteksi.

2.     Ransomware yang lebih canggih: ransomware adalah jenis malware yang mengenskripsi file pada computer korban dan meminta tebusan untuk mengembalikan akses ke file tersebut.

3.     Serangan DDoS yang lebih canggih: serangan DDoS (Distributed Denial of Service) bertujuan untuk membuat situs web atau layanan online tidak dapat diakses oleh pengguna dengan menyerang server mereka lalu lintas internet yang berlebihan

4.     Pengumpulan data yang tidak sah: malware berbasis AI dapat mempelajari pola perilaku pengguna dan mengumpulkan informasi pribadi tanpa sepengetahuan pengguna.

5.     Serangan pada infrastruktur kritis: malware berbasis AI dapat digunakan untuk menyerang system kritis seperti jaringan listrik atau system tranportasi publik.

Perbuatan Malware-AI sendiri dapat dikriminalisasi menjadi tindak pidana kejahatan mayantarara (Cyber crime) karena telah memenuhi karakteristik cyber crime sebagaimana kejahatan tersebut telah diatur dalam hukum positif Indonesia.[4] Hukum sudah seharusnya bergerak secara dinamis, melihat bahwa artificial intelligence adalah teknologi yang merupakan perangkat lunak, lalu bagaimana aturan hukum jika terjadi suatu pelanggaran yang diciptakan oleh AI?

Artificial Intelligence bukan merupakan subjek hukum, melainkan objek hukum. AI sendiri merupakan suatu program yang dijalankan oleh manusia. Dijelaskan dalam website Hukum Online, bahwa artificial intelligence termasuk ke dalam definisi agen elektronik, yang artinya pertanggung jawaban hukum dari AI ini diserahkan kepada penyedia perangkat AI. di dalam pasal 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, “Agen Elektronik” didefinisikan sebagai perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.” Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa Penyelenggaraan AI di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat. Artinya secara pertanggungjawaban hukum akan ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik yang menyelenggarakan jasa AI.[5]

Berdasarkan pendapat dari Van Hamel yang menjelaskan batasan dari suatu pertanggungjawaban yang kemudian dikaitkan dengan AI, dalam hal ini AI tidak mengerti makna dari suatu akibat yang dilakukannya dan AI tidak dapat menentukan kehendak atas dirinya untuk melakukan perbuatan, serta AI tidak memiliki kesadaran dalam suatu perbuatan hukum. Berkaitan dengan kesadaran, manusia sebagai subjek hukum mutlak dalam hukum pidana tidak terlepas dari kealpaan terhadap perbuatan yang dilakukannya, Sedangkan AI merupakan seperangkat alat yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu AI tidak memiliki kemampuan untuk dapat menjadi suatu subjek hukum yang dapat diberikan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Jika AI melakukan suatu tindak pidana yang merugikan pihak lain hal tersebut jika melihat dari adanya kesalahan atau kealpaan maka hal tersebut berasal dari pengguna AI tersebut, yang mana pertanggungjawaban diberikan secara mutlak dibebankan kepada pengguna AI.[6]

Kejahatan siber yang semakin canggih tentunya menjadi tantangan baru dalam melindungi data pribadi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi telah memasukkan pengambilan keputusan otomatis dan pemrosesan data menggunakan teknologi baru sebagai aktivitas pemrosesan data yang berisiko tinggi. Namun UU PDP harus terus diperbarui dan diperkuat mengikuti perkembangan teknologi AI, diperlukan regulasi dengan metode pengaturan yang spesifik mengenai pengambilan keputusan otomatis dan pemrosesan data menggunakan teknologi baru serta pengawasan yang ketat dan efektif terhadap perusahaan maupun pengembang AI dalam penggunaan teknologi AI.[7] Sudah seharusnya UU PDP menjadi bentuk perlindungan data pribadi walaupun belum ada regulasi yang mengatur lebih jelas dan lengkap mengenai Kejahatan siber berbasis malware-AI.

Kejahatan malware-AI merupakan kejahatan siber yang semakin banyak terjadi dan lebih canggih. Peningkatan keamanan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kerugian. Hukum sudah seharusnya menjadi solusi dari berbagai bentuk kejahatan baru yang muncul akibat dari perkembangan teknologi. Hukum perlu terus melakukan perbaruan untuk melindungi setiap individu dari tindak kejahatan. Adapun penerapan hukum dari adanya artificial intelligence berdasarkan pada hukum positif Indonesia pada saat ini.


[1] Admin SMP, “Mengenal Artificial Intelligence Teknologi Yang Akan Mengubah Kehidupan Manusia”. (diakses pada 12 Juni 2023)

https://ditsmp.kemdikbud.go.id/mengenal-artificial-intelligence-teknologi-yang-akan-mengubah-kehidupan-manusia/

[2] Donovan Typhano Rachmadie, “Penerapan Attificial Intellingence pada tindak pidana Malware Dan Penyimpangannya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016”. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret:Surakarta. 2020:21.

[3] Nita Azhar, “Serangan Siber Menggunakan AI Makin Mengancam”, IDS Digital College:STMIK INDO DAYA SUVANA. (diakses pada 14 Juli 2023)

https://ids.ac.id/serangan-siber-menggunakan-ai-makin-mengancam/

[4] Donovan Typhano Rachmadie, Op. cit, hal.94.

[5] Zahrasafa P dan Angga Priancha, “Pengaturan hukum artificial intelligence Indonesia saat ini”, Hukum Online, 2021. (diakses pada 15 Juli 2023)

https://www.hukumonline.com/berita/a/pengaturan-hukum-artifical-intelligence-indonesia-saat-ini-lt608b740fb22b7/

[6] Muhammad Tan Abdul Rahman Haris, Tantimin, “Analisis Pertanggungjawaban Hukum Pidana Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 8 Nomor 1, 2022:314.

[7] Tim Publikasi Hukum Online, “Seberapa Siap Kita Melindungi Data Pribadi Di Era AI?”. Hukum Online, 2023. (diakses pada 15 Juli 2023)

https://www.hukumonline.com/berita/a/seberapa-siap-kita-melindungi-data-pribadi-di-era-ai-lt642e8aa14441b?page=2

 

 

 

Menelisik Penggunaan Artificial Intelligence, Big Data dan Blockchain dalam Aspek Hukum Persaingan Usaha

 

Menelisik Penggunaan Artificial Intelligence, Big Data dan Blockchain

dalam Aspek Hukum Persaingan Usaha

Penulis: Muhamad Haikal Mujamil

Disrupsi teknologi merubah berbagai aktivitas perekonomian masyarakat sehingga mempengaruhi dunia usaha. Dunia usaha merupakan tempat persaingan untuk memperoleh profit atau keuntungan sebesar-besarnya, namun dengan catatan hal tersebut tidak menimbulkan praktek monopoli (antitrust) dan persaingan tidak sehat. Untuk menjamin kebebasan bersaing tanpa hambatan juga memberikan batasan dalam bersaing, maka tujuan Hukum persaingan usaha diperlukan demi menciptakan efisiensi pasar dengan mencegah praktik monopoli, baik itu Productive Efficiency dan Allocative Efficiency.[1] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggunakan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal terkait dengan penegakan hukum persaingan usaha. Rule of Reason merupakan pendekatan analisis secara merinci terkait pengaruh suatu tindakan dapat menimbulkan hambatan dan praktek antitrust. Sedangkan Per Se Illegal ialah dimana suatu tindakan usaha tertentu dianggap melanggar hukum tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang terjadi. Untuk memutuskan pendekatan mana yang digunakan, Herbert Hovenkamp memberikan petunjuk yang mencakup pertanyaan berikut:[2]

  1. Does the agreement involve competitors? If yes, it is a candidate for per se statement;
  2. Does the arrangement explicitly “affect” price or output? If so, and if the agreement involves competitors, the court will most generally apply the per se rule, although there are some exceptions. The word “explicitly” is important. Competitors exchanges of price information may effect price or output; and
  3. If the agreement affects price or output, is it “naked” or is it ancillary to some other activity that arguably enchances the efficiency of the participant? If the agreement is naked, application of the per se rule is virtually automatic.

Sejalan dengan tujuan usaha, teknologi umum yang digunakan saat ini seperti Artificial Intelligence (AI) dan Big Data mampu mengolah suatu data atau informasi berukuran besar sehingga dimanfaatkan pelaku usaha dalam mengambil keputusan yang paling menguntungkan. Namun, penggunaan AI dan big data, seringkali digunakan untuk melakukan kegiatan anti-kompetitif seperti “Algorithmic Consumer Price Discrimination” atau praktek manipulasi harga serta berbagai cara modern lain yang mampu “memuluskan” persaingan tidak sehat.[3] Departemen Kehakiman Amerika Serikat, pernah dihadapkan pada kasus yang melibatkan skema penetapan harga oleh penjual di platform penjualan daring. Para penjual dalam kasus ini menggunakan perangkat lunak penetapan harga berbasis algoritma yang mengumpulkan harga pesaing untuk produk tertentu dan menerapkan aturan penetapan harga yang ditetapkan oleh penjual dengan tujuan mengkoordinasikan perubahan harga pada produknya.[4] Teknologi lain seperti Blockchain atau Distributed Ledger Technology yang dengan konsep Desentralisasi dan Disintermediasi mampu menghasilkan berbagai inovasi sektor keuangan.[5] Blockchain is an emergent and horizontal form of transaction determinacy. As a result, the theory of the firm initiated by Ronald Coase, which is centered around direct top-down control to reduce transaction costs, cannot be transposed to Blockchain.[6] Blockchain dikategorikan menjadi dua, yakni Blockchain publik dapat bersifat tanpa izin (permissionless) atau berizin (permissioned) dan Blockchain privat, bersifat berizin (permissioned) untuk bergabung menjadi bagian dari jaringan.[7] Teori perusahaan gagal dalam menggambarkan Blockchain publik tanpa izin (permissionless), sehingga hukum antitrust dan persaingan tidak berlaku untuk Blockchain jenis tersebut.[8] Thubault Schrepel menjelaskan bahwa kondisi hukum persaingan usaha saat ini mungkin akan tereliminasi bila berhadapan dengan aspek pengaturan Blockchain karena tiga faktor berikut:[9]

  1. Hukum persaingan usaha mungkin akan tidak efektif tanpa infiltrasi pengaturan, pertamakalinya dalam sejarah, hukum persaingan usaha harus menerapkan pendekatan “law is code”;
  2. Blockchain publik akan membatasi monopolisasi bahkan ketika mekanisme pengaturan baru diimplementasikan; dan
  3. Adalah karena fondasinya, regulator cenderung akan mempertahankan eksistensi hukum persaingan usaha meskipun tujuannya sudah tidak dapat dicapai.

Beberapa praktek dalam Blockchain yang dapat dikaitkan dengan latar belakang hukum persaingan usaha yang dijelaskan oleh Sebastian Louven dan David Saive yakni Praktek anti kompetitif bersama (perjanjian anti-persaingan), Pertukaran informasi, Alokasi terhadap partisipan platform, dan Koordinasi teknologi.[10] Thubault Schrepel menjelaskan bahwa kondisi hukum persaingan usaha saat ini dapat terpengaruh oleh pengaturan Blockchain. Pertama, hukum persaingan usaha mungkin tidak efektif tanpa adanya infiltrasi pengaturan sehingga perlu menerapkan pendekatan "law is code". Kedua, Blockchain publik dapat membatasi monopolisasi bahkan ketika mekanisme pengaturan baru diimplementasikan. Terakhir, meskipun tujuan hukum persaingan usaha mungkin tidak dapat dicapai dalam konteks Blockchain, regulator cenderung akan mempertahankan keberadaan hukum persaingan usaha karena merupakan fondasi dari regulasi tersebut.[11]

Berubahnya kultur dunia usaha yang berorientasi Data Driven,  membuat Negara perlu mengatur, guna mendukung, melindungi dan memberikan batasan penggunaan teknologi. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan aturan turunan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja di sektor komunikasi dan informatika, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan dapat mengurangi dampak negatif persaingan usaha terhadap seluruh pihak. Namun, karena teknologi terus berkembang, perlu pemahaman lebih tentang AI, Big Data, Blockchain dan berbagai teknologi yang didasarkan padanya untuk meningkatkan kualitas struktur hukum persaingan usaha karena pada dasarnya penggunaan berbagai teknologi digital tersebut tidak bersifat netral, baik ataupun buruk, tetapi lebih bersandar pada pihak yang menggunakannya.

 

 


[1] Susanti Adi Nugroho. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2012. hal. 2.

[2] Putu Sudarma Sumadi. Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Hukum Acara Persaingan Usaha?).  Sidoarjo: Penerbit Zifatama Jawara, 2017. hal. 80-81.

[3] Townley, Christopher and Morrison, Eric and Yeung, Karen, Big Data and Personalised Price Discrimination in EU Competition Law (October 6, 2017). King's College London Law School Research Paper No. 2017-38, http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3048688. hal. 2.

[4] Li, Sheng and Xie, Claire (Chunying), Rise of the Machines: Emerging Antitrust Issues Relating to Algorithm Bias and Automation (February 28, 2017). The Civil Practice & Procedure Committee’s Young Lawyers Advisory Panel: Perspectives in Antitrust, Volume 5, Number 3, February 2017, http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2952577. hal. 4.

[5] Lianos, Ioannis, Blockchain Competition (September 15, 2018). in Ph. Hacker, I. Lianos, G. Dimitropoulos & S. Eich, Regulating Blockchain: Political and Legal Challenges, OUP, 2019, : https://ssrn.com/abstract=3257307. hal. 10.

[6] Schrepel, Thibault, The Theory of Granularity: A Path for Antitrust in Blockchain Ecosystems (January 14, 2020). http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3519032. hal. 25

[7] Schrepel, Thibault. Ibid. hal. 4.

[8] Schrepel, Thibault. Ibid. hal. 49

[9] Thibault Schrepel, “Is Blockchain the Death of Antitrust Law? The Blockchain Antitrust Paradox”, Georgetown Law Technology Review 281, 2019. hal. 335-336.

[10] Louven, Sebastian and Saive, David, Antitrust by Design – The Prohibition of Anti-Competitive Coordination and the Consensus Mechanism of the Blockchain (October 2, 2018). http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3259142. hal. 1-3.

[11] Thibault Schrepel, “Is Blockchain the Death of Antitrust Law…, hal. 335-336

 

Deepfake Pornografi: Tantangan Perkembangan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dalam Dunia Hukum Terhadap Kejahatan Seksual

 

Deepfake Pornografi: Tantangan Perkembangan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dalam Dunia Hukum Terhadap Kejahatan Seksual

Penulis: Wilda Febiana

Kecanggihan teknologi Deepfake telah menciptakan tantangan baru dalam masyarakat dan hukum, pasalnya teknologi ini sering kali dimanfaatkan sebagai alat kejahatan, termasuk kejahatan seksual. Para ahli menyebutkan, bahwa deepfake pornografi merupakan pornografi tanpa consent dan kekerasan seksual melalui gambar. 

Seiring dengan maraknya penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) di masyarakat, telah tumbuh dan berkembang pula deepfake technology atau teknologi deepfake. Artificial Intelligence (AI) merupakan kecerdasan buatan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang dapat diatur dalam konteks ilmiah atau dapat didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Teknologi Deepfake merupakan turunan atau lahir dari adanya teknologi Artificial Intelligenc (AI). Teknologi deepfake dapat menciptakan audio, foto, dan video rekayasa, yang menunjukan seseorang berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Sedangkan, deepfake pornografi merupakan penbuatan konten pornografi dengan cara  pemalsuan suatu foto atau video, dengan menggunakan wajah seseorang yang sebetulnya tidak melakukan hal tersebut. Perkembangan-perkembangan dari teknologi ini memunculkan jenis kejahatan baru di Indonesia.

Teknologi deepfake, sudah masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia dapat dengan mudah mengakses aplikasi-aplikasi yang menyedikan teknologi deepfake. Deepfake digunakan sebagai alat kejahatan seksual pun sudah marak terjadi di Indonesia. Deepfake pornografi merupakan ancaman yang sangat menghawatirkan di tengah masyarakat. Sebab konten deepfake pornografi yang dibuat umunya sangat sulit untuk diketahui keasliannya. Ironisnya, korban dari deepfake pornografi dapat menimpa pada siapa saja termasuk anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari konten-konten deepfake pornografi, dapat menimbulkan kerugian bagi korban, korban akan terdampak baik secara psikologis maupun emosional, korban dapat mengalami trauma, tercemarnya nama baik, dan kehilangan harga diri. Selain itu, deepfake pornografi juga dapat dijadikan alat sebagai unjuk balas dendam oleh pelaku terhadap korban, karena persebaran konten deepfake pornografi mampu mencemarkan nama baik. Media sosial turut memegang peran terhadap perkembangan deepfake pornografi. Pasalnya, pelaku deepfake pornografi umumnya mendapatkan data-data yang ia butuhkan dari media sosial korban. Kemudian, pelaku deepfake pornografi merekayasa data-data korban dalam bentuk video ataupun gambar sesuai dengan yang ia inginkan tanpa sepengetahuan korban. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa teknologi deepfake yang disalahgunaakan sangat berbahaya dan mengancam publik.

Pelaku deepfake pornografi tanpa dipungkiri telah melakukan perbuatan criminal, yaitu kekerasan seksual, pencurian data pribadi, dan penyebaran informasi palsu. Di  Indonesia, hukum terkait Artificial Intelligence secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan undang-undang tersebut maka, Artificial Intelligence sesungguhnya masuk di dalam definisi Agen Elektronik. Pengaturan mengenai pornografi telah diatur dalam Undang-Undang No.  44  Tahun  2008  Tentang  Pornografi. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi tercantum bahwa, setiap bahwa setiap    orang    dilarang    memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Selain itu, konten deepfake pornografi merupakan perbuatan yang dilarang karena konten di dalamnya mengandung muatan pornografi yang merupakan salah stau pelanggaran kesusilaan, hal ini sebagaimana yang telah tercantum dalam  Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu, bahwa setiap orang yang dengan sengaja  dan  tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat diaksesnya  Informasi  Elektronik  dan/atau  Dokumen  Elektronik  yang  memiliki  muatan  yang melanggar  kesusilaan. Selain itu, dalam Pasal Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga telah diebutkan bahwa, setiap orang dengan sengaja dan tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran  nama  baik

Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, pelaku deepfake pornografi dapat dikenakan pertanggungjawaban, karena telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Namun, pada praktiknya implemntasi pengaturan pundang-undangan tindak pidana pornografi terkait deepfake pornografi masih belum efektif. Hal ini karena masih belum adanya peraturan khusus yang mengatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat menempatkan perhatiannya selain terhadap pelaku, dan kebijakan mengenai penggunaan teknologi deepfake yaitu, terhadap korban. Pemerintah perlu memperkuat regulasi mengenai upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Kekosongan hukum yang masih belum mengatur lebih lanjut mengenai penyalahgunaan teknologi deepfake harus mendapatkan perhatian lebih khusus lagi.

Negara memegang peran dalam pembentukan regulasi maka, sudah seharusnya Negara segera merancang peraturan yang lebih khusus terkait standarisasi penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia. Oleh karenanya berdasarkan paparan diatas bahwa terdapat urgensi untuk adanya standarisasi yang jelas terkait penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan diatas dapat kita ketahui pula bahwa untuk memaksimalkan penegekan hukum yang efektif, menjadi urgenitas untuk membuat peraturan atau regulasi mengenai pemakaian teknologi deepfake perlu diatur secara khusus karena penyalahgunaan teknologi deepfake dapat langsung menjerat pelaku terhadap lebih dari satu tindak kejahatan. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pemanfaatan dan penggunaan teknologi deepfake agar masyarakat tidak mengunakannya untuk melanggar hukum. Berdasarkan kondisi yang telah dijelaskan, dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan teknologi deepfake khususnya deepfake pornografi ini telah menjadi tantangan baru dalam dunia hukum di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Zahrasafa P Mahardika, Angga Priancha. (2021, April 30). Pengaturan Hukum Artifical Intelligence Indonesia Saat Ini. https://www.hukumonline.com/berita/a/pengaturan-hukum-artifical-intelligence-indonesia-saat-ini-lt608b740fb22b7/.

Eva Istia Utawi, Neni Ruhaeni. (n.d.). Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana PBandung Conference Series:. Bandung Conference Series.

Heriani, F. N. (2023, juni 18). Perlu Standardisasi untuk Meregulasi AI di Indonesia. https://www.hukumonline.com/berita/a/perlu-standardisasi-untuk-meregulasi-ai-di-indonesia-lt648ebdde37432/.

Kasita, I. D. (2022). DeepfakePornografi: Tren Kekerasan Gender BerbasisOnline(KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga.

Muhammad Faqih Faathurrahman, Enni Soerjati Priowirjanto. (2022). PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU PENYALAHGUNAAN DEEPFAKES DALAM TEKNOLOGI KECERDASANBUATAN PADA KONTEN PORNOGRAFI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi.

 

 

 

 

PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING SEBAGAI ANCAMAN KEMAJUAN TEKNOLOGI

 

PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING SEBAGAI ANCAMAN KEMAJUAN TEKNOLOGI

Penulis: Felicia Natasha Dagali

Pada era globalisasi, kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman, selain pangan, sandang, dan papan, terdapat teknologi yang menjadi salah satu prioritas kebutuhan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya aktivitas bahkan pekerjaan yang melibatkan teknologi didalamnya, sehingga manusia juga terdorong untuk memahami teknologi tersebut. Kemajuan teknologi membawa banyak dampak di kehidupan manusia, terdapat dampak positif dan negatif. Contoh dampak negatif yang ditimbulkan teknologi antara lain yaitu hoax, penyadapan (hacking), penipuan online, pornografi, judi online,  dan yang kerap terjadi yaitu cyberbullying.

Di zaman kemajuan teknologi ini, perundungan digital atau yang sering dikenal dengan cyberbullying merupakan salah satu tindak pidana yang marak terjadi di dunia maya. Arti kata bully dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perundungan atau penindasan, berdasarkan hasil data statistik tindak pidana tersebut sebagian besar sering terjadi di kalangan remaja, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh kalangan lainnya seperti orang dewasa serta anak-anak sekali pun. Tujuan dari cyberbullying adalah untuk menjatuhkan dan mempermalukan orang lain, bahkan dapat dimanfaatkan juga untuk membuat pihak lain diuntungkan dengan cara menghina dan menindas korban. Sebutan bagi orang-orang di dunia maya ialah netizen.

Tingginya kasus perundungan digital (cyberbullying) juga menjadi faktor bahwa kejahatan mengenai dampak buruk kemajuan teknologi harus diatur atau didasarkan dengan hukum dengan harapan meminimalisir kasus yang terjadi. Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika menganalisis dan berpendapat bahwa teori yang sesuai dijadikan landasan dari Undang-Undang ITE ini ialah teori sintesa atau hybrid yaitu kombinasi dari teori instrumental dan teori subtantif. UU ITE juga merupakan gabungan dari RUU yang dibuat oleh dua universitas dan telah dibahas oleh DPR, yaitu RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia, informasi lengkapnya dapat dibaca di Konsep Rancangan Undang-Undang Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia

Cyberbullying memiliki banyak jenis diantaranya yaitu pesan dengan amarah (flaming), harassment (gangguan), pencemaran nama baik (denigration), penyebaran (outing), penipuan (trickery), pengeluaran (exclusion), dan cyberstalking. Dampak perundungan di dunia maya terhadap korban cyberbullying menurut ahli kesehatan antara lain, dilihat dari segi psikologis tentunya korban akan mudah gelisah, mengalami gangguan kecemasan, depresi, serta melakukan percobaan bunuh diri. Dari segi sosial, korban akan menarik diri dari lingkungan sekitarnya, kehilangan kepercayaan diri, serta tidak stabil keadaan dan emosinya terhadap orang disekitar bahkan orang terdekatnya sekalipun. Selengkapnya mengenai dampak dan cara mengatasi menurut ahli kesehatan dijelaskan di Dampak yang ditimbulkan perilaku cyberbullying terhadap korban.

Dasar hukum cyberbullying diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perubahannya, yaitu:

·       Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Dengan ancaman dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

·       Pasal 27 ayat (4) yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.” Dengan ancaman dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar).

Namun ketentuan diatas juga harus mengarah kembali pada unsur tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah serta pemerasan atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), spesifiknya pada Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 368 ayat (1). Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 27 (3) dan (4) UU No. 19/2016 tentang perubahan atas UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kurangnya edukasi terhadap penggunaan teknologi yang semakin maju seiring dengan perkembangan zaman menyebabkan dampak buruk teknologi mendominasi dibandingkan dengan dampak positifnya. Banyak pula masyarakat yang beranggapan bahwa cyberbullying adalah hal yang biasa atau wajar terjadi karena mereka memiliki hak untuk berpendapat atau berkomentar, oleh karena itu pentingnya edukasi kepada anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa sebelum terjun ke media sosial juga perlu diterapkan agar dapat meminimalisir sekaligus mencegah dampak negatif dari kemajuan teknologi.

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku cyberbullying ialah dengan mengontrol diri sendiri, baik etika dalam berperilaku maupun bertutur kata sehingga tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain, karena sebagai netizen cerdas juga harus bijak dalam penggunaan media sosial serta memanfaatkan kemajuan teknologi dengan tujuan yang baik. Pemilihan terhadap lingkungan sosial juga termasuk salah satu hal yang perlu diperhatikan karena lingkungan sekitar tentunya akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan manusia itu sendiri, oleh karena itu lingkungan sosial yang memiliki nilai dan ajaran yang positif akan menjadi wadah yang baik pula.

Penulis menyimpulkan bahwa ancaman dari kemajuan teknologi memang nyata dalam praktiknya, hal tersebut dapat dilihari dari tingginya perilaku kejahatan. Cyberbullying sebagai salah satu perilaku kejahatan di dunia maya masih kerap terjadi di masyarakat, dan hal tersebut hanya dapat dicegah dengan kesadaran diri dari para pelaku cyberbullying.

 

 

INTERNAL COMPETITITION LDC FH UNTIRTA 2024

 INTERNAL COMPETITITION LDC FH UNTIRTA 2024 Internal Competition adalah kegiatan rutin yang diadakan setiap periode oleh Divisi Kompetisi. T...