Menelisik Penggunaan Artificial Intelligence, Big Data dan Blockchain
dalam Aspek Hukum Persaingan Usaha
Penulis: Muhamad Haikal Mujamil
Disrupsi
teknologi merubah berbagai aktivitas perekonomian masyarakat sehingga
mempengaruhi dunia usaha. Dunia usaha merupakan tempat persaingan untuk
memperoleh profit atau keuntungan sebesar-besarnya, namun dengan catatan hal
tersebut tidak menimbulkan praktek monopoli (antitrust) dan persaingan tidak sehat. Untuk menjamin kebebasan
bersaing tanpa hambatan juga memberikan batasan dalam bersaing, maka tujuan
Hukum persaingan usaha diperlukan demi menciptakan efisiensi pasar dengan
mencegah praktik monopoli, baik itu Productive
Efficiency dan Allocative Efficiency.[1] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
menggunakan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal
terkait dengan penegakan hukum persaingan usaha. Rule of Reason merupakan pendekatan analisis secara merinci terkait
pengaruh suatu tindakan dapat menimbulkan hambatan dan praktek antitrust. Sedangkan Per Se Illegal ialah dimana suatu
tindakan usaha tertentu dianggap melanggar hukum tanpa pembuktian lebih lanjut
atas dampak yang terjadi. Untuk memutuskan pendekatan mana yang digunakan,
Herbert Hovenkamp memberikan petunjuk yang mencakup pertanyaan berikut:[2]
- Does the
agreement involve competitors? If yes, it is a candidate for per se
statement;
- Does the
arrangement explicitly “affect” price or output? If so, and if the
agreement involves competitors, the court will most generally apply the
per se rule, although there are some exceptions. The word “explicitly” is
important. Competitors exchanges of price information may effect price or
output; and
- If the
agreement affects price or output, is it “naked” or is it ancillary to
some other activity that arguably enchances the efficiency of the
participant? If the agreement is naked, application of the per se rule is
virtually automatic.
Sejalan dengan tujuan usaha,
teknologi umum yang digunakan saat ini seperti Artificial Intelligence
(AI) dan Big Data
mampu mengolah suatu data atau informasi berukuran besar sehingga dimanfaatkan
pelaku usaha dalam mengambil keputusan yang paling menguntungkan. Namun,
penggunaan AI dan big data,
seringkali digunakan untuk melakukan kegiatan anti-kompetitif seperti “Algorithmic Consumer Price Discrimination”
atau praktek manipulasi harga serta berbagai cara modern lain yang mampu
“memuluskan” persaingan tidak sehat.[3] Departemen Kehakiman Amerika Serikat,
pernah dihadapkan pada kasus yang melibatkan skema penetapan harga oleh penjual
di platform penjualan daring. Para penjual dalam kasus ini menggunakan
perangkat lunak penetapan harga berbasis algoritma yang mengumpulkan harga
pesaing untuk produk tertentu dan menerapkan aturan penetapan harga yang
ditetapkan oleh penjual dengan tujuan mengkoordinasikan perubahan harga pada
produknya.[4] Teknologi lain seperti Blockchain
atau Distributed Ledger Technology
yang dengan konsep Desentralisasi dan Disintermediasi mampu menghasilkan
berbagai inovasi sektor keuangan.[5] Blockchain
is an emergent and horizontal form of transaction determinacy. As a result, the
theory of the firm initiated by Ronald Coase, which is centered around direct
top-down control to reduce transaction costs, cannot be transposed to
Blockchain.[6] Blockchain
dikategorikan menjadi dua, yakni Blockchain
publik dapat bersifat tanpa izin (permissionless)
atau berizin (permissioned) dan Blockchain privat, bersifat berizin (permissioned) untuk bergabung menjadi
bagian dari jaringan.[7] Teori perusahaan gagal dalam menggambarkan Blockchain publik tanpa izin (permissionless), sehingga hukum antitrust dan persaingan tidak berlaku
untuk Blockchain jenis tersebut.[8]
Thubault Schrepel menjelaskan bahwa kondisi hukum persaingan usaha saat ini
mungkin akan tereliminasi bila berhadapan dengan aspek pengaturan Blockchain karena tiga faktor berikut:[9]
- Hukum
persaingan usaha mungkin akan tidak efektif tanpa infiltrasi pengaturan,
pertamakalinya dalam sejarah, hukum persaingan usaha harus menerapkan
pendekatan “law is code”;
- Blockchain
publik akan membatasi monopolisasi bahkan ketika mekanisme pengaturan baru
diimplementasikan; dan
- Adalah
karena fondasinya, regulator cenderung akan mempertahankan eksistensi
hukum persaingan usaha meskipun tujuannya sudah tidak dapat dicapai.
Beberapa praktek dalam Blockchain yang dapat dikaitkan dengan
latar belakang hukum persaingan usaha yang dijelaskan oleh Sebastian Louven dan
David Saive yakni Praktek anti kompetitif bersama (perjanjian anti-persaingan),
Pertukaran informasi, Alokasi terhadap partisipan platform, dan Koordinasi
teknologi.[10] Thubault Schrepel menjelaskan bahwa kondisi hukum persaingan
usaha saat ini dapat terpengaruh oleh pengaturan Blockchain. Pertama, hukum persaingan usaha mungkin tidak efektif
tanpa adanya infiltrasi pengaturan sehingga perlu menerapkan pendekatan "law is code". Kedua, Blockchain publik dapat membatasi
monopolisasi bahkan ketika mekanisme pengaturan baru diimplementasikan.
Terakhir, meskipun tujuan hukum persaingan usaha mungkin tidak dapat dicapai
dalam konteks Blockchain, regulator
cenderung akan mempertahankan keberadaan hukum persaingan usaha karena
merupakan fondasi dari regulasi tersebut.[11]
Berubahnya kultur dunia usaha yang
berorientasi Data Driven, membuat Negara perlu mengatur, guna
mendukung, melindungi dan memberikan batasan penggunaan teknologi. Pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
yang merupakan aturan turunan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja
di sektor komunikasi dan informatika, Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
diharapkan dapat mengurangi dampak negatif persaingan usaha terhadap seluruh
pihak. Namun, karena teknologi terus berkembang, perlu pemahaman lebih tentang AI, Big
Data, Blockchain dan berbagai
teknologi yang didasarkan padanya untuk meningkatkan kualitas struktur hukum
persaingan usaha karena pada dasarnya penggunaan berbagai teknologi digital
tersebut tidak bersifat netral, baik ataupun buruk, tetapi lebih bersandar pada
pihak yang menggunakannya.
[1] Susanti Adi
Nugroho. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: dalam Teori dan Praktik Serta
Penerapan Hukumnya. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2012. hal.
2.
[2] Putu Sudarma Sumadi. Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Hukum Acara Persaingan Usaha?). Sidoarjo: Penerbit Zifatama Jawara, 2017. hal. 80-81.
[3] Townley,
Christopher and Morrison, Eric and Yeung, Karen, Big Data and Personalised
Price Discrimination in EU Competition Law (October 6, 2017). King's College
London Law School Research Paper No. 2017-38,
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3048688. hal. 2.
[4] Li, Sheng and
Xie, Claire (Chunying), Rise of the Machines: Emerging Antitrust Issues
Relating to Algorithm Bias and Automation (February 28, 2017). The Civil
Practice & Procedure Committee’s Young Lawyers Advisory Panel: Perspectives
in Antitrust, Volume 5, Number 3, February 2017,
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2952577. hal. 4.
[5] Lianos,
Ioannis, Blockchain Competition
(September 15, 2018). in Ph. Hacker, I. Lianos, G. Dimitropoulos & S. Eich,
Regulating Blockchain: Political and
Legal Challenges, OUP, 2019, : https://ssrn.com/abstract=3257307. hal. 10.
[6] Schrepel,
Thibault, The Theory of Granularity: A Path for Antitrust in Blockchain Ecosystems (January 14,
2020). http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3519032. hal. 25
[7] Schrepel,
Thibault. Ibid. hal. 4.
[8] Schrepel,
Thibault. Ibid. hal. 49
[9] Thibault
Schrepel, “Is Blockchain the Death of
Antitrust Law? The Blockchain
Antitrust Paradox”, Georgetown Law Technology Review 281, 2019. hal. 335-336.
[10] Louven,
Sebastian and Saive, David, Antitrust by Design – The Prohibition of
Anti-Competitive Coordination and the Consensus Mechanism of the Blockchain (October 2, 2018).
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3259142. hal. 1-3.
[11] Thibault
Schrepel, “Is Blockchain the Death of
Antitrust Law…, hal. 335-336
Tidak ada komentar:
Posting Komentar