Deepfake Pornografi: Tantangan Perkembangan Teknologi
Artificial Intelligence (AI) Dalam Dunia Hukum Terhadap Kejahatan Seksual
Kecanggihan teknologi Deepfake telah menciptakan
tantangan baru dalam masyarakat dan hukum, pasalnya teknologi ini sering kali
dimanfaatkan sebagai alat kejahatan, termasuk kejahatan seksual. Para ahli
menyebutkan, bahwa deepfake pornografi merupakan pornografi tanpa consent dan
kekerasan seksual melalui gambar.
Seiring dengan maraknya penggunaan teknologi Artificial Intelligence
(AI) di masyarakat, telah tumbuh dan berkembang pula
deepfake technology atau teknologi deepfake.
Artificial Intelligence (AI)
merupakan kecerdasan buatan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang dapat
diatur dalam konteks ilmiah atau dapat didefinisikan sebagai kecerdasan entitas
ilmiah. Teknologi Deepfake merupakan turunan atau lahir dari
adanya teknologi Artificial Intelligenc (AI).
Teknologi deepfake dapat menciptakan audio, foto, dan video rekayasa, yang
menunjukan seseorang berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak pernah ia
lakukan. Sedangkan, deepfake pornografi merupakan penbuatan konten pornografi
dengan cara pemalsuan suatu foto atau
video, dengan menggunakan wajah seseorang yang sebetulnya tidak melakukan hal
tersebut. Perkembangan-perkembangan dari teknologi ini memunculkan jenis
kejahatan baru di Indonesia.
Teknologi deepfake, sudah masuk ke Indonesia,
masyarakat Indonesia dapat dengan mudah mengakses aplikasi-aplikasi yang
menyedikan teknologi deepfake. Deepfake digunakan sebagai alat kejahatan
seksual pun sudah marak terjadi di Indonesia. Deepfake pornografi merupakan
ancaman yang sangat menghawatirkan di tengah masyarakat. Sebab konten deepfake
pornografi yang dibuat umunya sangat sulit untuk diketahui keasliannya. Ironisnya,
korban dari deepfake pornografi dapat menimpa pada siapa saja termasuk
anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari konten-konten deepfake pornografi,
dapat menimbulkan kerugian bagi korban, korban akan terdampak baik secara
psikologis maupun emosional, korban dapat mengalami trauma, tercemarnya nama
baik, dan kehilangan harga diri. Selain itu, deepfake pornografi juga dapat
dijadikan alat sebagai unjuk balas dendam oleh pelaku terhadap korban, karena
persebaran konten deepfake pornografi mampu mencemarkan nama baik. Media sosial
turut memegang peran terhadap perkembangan deepfake pornografi. Pasalnya,
pelaku deepfake pornografi umumnya mendapatkan data-data yang ia butuhkan dari
media sosial korban. Kemudian, pelaku deepfake pornografi merekayasa data-data
korban dalam bentuk video ataupun gambar sesuai dengan yang ia inginkan tanpa
sepengetahuan korban. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa teknologi
deepfake yang disalahgunaakan sangat berbahaya dan mengancam publik.
Pelaku deepfake pornografi tanpa dipungkiri telah
melakukan perbuatan criminal, yaitu kekerasan seksual, pencurian data pribadi,
dan penyebaran informasi palsu. Di Indonesia, hukum terkait Artificial
Intelligence secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Berdasarkan
undang-undang tersebut maka, Artificial
Intelligence sesungguhnya masuk di dalam definisi Agen Elektronik. Pengaturan mengenai pornografi
telah diatur
dalam Undang-Undang No. 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi tercantum bahwa, setiap
bahwa setiap orang dilarang
memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Selain itu, konten deepfake pornografi merupakan
perbuatan yang dilarang karena konten di dalamnya mengandung muatan pornografi
yang merupakan salah stau pelanggaran kesusilaan, hal ini sebagaimana yang
telah tercantum dalam Pasal
27 ayat (1) UU ITE yaitu, bahwa
setiap orang yang dengan sengaja
dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan. Selain itu, dalam Pasal Pasal 27
ayat (3) UU ITE juga telah diebutkan
bahwa, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik
Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut, pelaku deepfake pornografi dapat dikenakan
pertanggungjawaban, karena telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Namun, pada
praktiknya implemntasi pengaturan pundang-undangan tindak pidana pornografi
terkait deepfake pornografi masih belum efektif. Hal ini karena masih belum
adanya peraturan khusus yang mengatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat
menempatkan perhatiannya selain terhadap pelaku, dan kebijakan mengenai
penggunaan teknologi deepfake yaitu, terhadap korban. Pemerintah perlu
memperkuat regulasi mengenai upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan
korban. Kekosongan hukum yang masih belum mengatur lebih lanjut mengenai
penyalahgunaan teknologi deepfake harus mendapatkan perhatian lebih khusus lagi.
Negara memegang
peran dalam pembentukan regulasi maka, sudah seharusnya Negara segera merancang
peraturan yang lebih khusus terkait standarisasi penggunaan Artificial
Intelligence (AI) di Indonesia. Oleh karenanya berdasarkan paparan diatas bahwa
terdapat urgensi untuk adanya standarisasi yang jelas terkait penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia. Berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan diatas dapat kita ketahui pula bahwa
untuk memaksimalkan penegekan hukum yang efektif, menjadi urgenitas untuk membuat
peraturan atau regulasi mengenai pemakaian teknologi deepfake perlu diatur
secara khusus karena penyalahgunaan teknologi
deepfake dapat langsung menjerat pelaku terhadap lebih dari satu tindak
kejahatan. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat
mengenai pemanfaatan dan penggunaan teknologi deepfake agar masyarakat tidak mengunakannya
untuk melanggar hukum. Berdasarkan kondisi yang telah dijelaskan, dapat
dikatakan bahwa penyalahgunaan teknologi deepfake khususnya deepfake pornografi
ini telah menjadi tantangan baru dalam dunia hukum di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Zahrasafa P
Mahardika, Angga Priancha. (2021, April 30). Pengaturan Hukum Artifical
Intelligence Indonesia Saat Ini. https://www.hukumonline.com/berita/a/pengaturan-hukum-artifical-intelligence-indonesia-saat-ini-lt608b740fb22b7/.
Eva Istia Utawi,
Neni Ruhaeni. (n.d.). Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana PBandung
Conference Series:. Bandung Conference Series.
Heriani, F. N.
(2023, juni 18). Perlu Standardisasi untuk Meregulasi AI di Indonesia. https://www.hukumonline.com/berita/a/perlu-standardisasi-untuk-meregulasi-ai-di-indonesia-lt648ebdde37432/.
Kasita, I. D.
(2022). DeepfakePornografi: Tren Kekerasan Gender BerbasisOnline(KGBO) Di Era
Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga.
Muhammad Faqih
Faathurrahman, Enni Soerjati Priowirjanto. (2022). PENGATURAN
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU PENYALAHGUNAAN DEEPFAKES DALAM TEKNOLOGI
KECERDASANBUATAN PADA KONTEN PORNOGRAFI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA. Jurnal
Indonesia Sosial Teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar