Senin, 17 Juli 2023

Deepfake Pornografi: Tantangan Perkembangan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dalam Dunia Hukum Terhadap Kejahatan Seksual

 

Deepfake Pornografi: Tantangan Perkembangan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dalam Dunia Hukum Terhadap Kejahatan Seksual

Penulis: Wilda Febiana

Kecanggihan teknologi Deepfake telah menciptakan tantangan baru dalam masyarakat dan hukum, pasalnya teknologi ini sering kali dimanfaatkan sebagai alat kejahatan, termasuk kejahatan seksual. Para ahli menyebutkan, bahwa deepfake pornografi merupakan pornografi tanpa consent dan kekerasan seksual melalui gambar. 

Seiring dengan maraknya penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) di masyarakat, telah tumbuh dan berkembang pula deepfake technology atau teknologi deepfake. Artificial Intelligence (AI) merupakan kecerdasan buatan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang dapat diatur dalam konteks ilmiah atau dapat didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Teknologi Deepfake merupakan turunan atau lahir dari adanya teknologi Artificial Intelligenc (AI). Teknologi deepfake dapat menciptakan audio, foto, dan video rekayasa, yang menunjukan seseorang berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Sedangkan, deepfake pornografi merupakan penbuatan konten pornografi dengan cara  pemalsuan suatu foto atau video, dengan menggunakan wajah seseorang yang sebetulnya tidak melakukan hal tersebut. Perkembangan-perkembangan dari teknologi ini memunculkan jenis kejahatan baru di Indonesia.

Teknologi deepfake, sudah masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia dapat dengan mudah mengakses aplikasi-aplikasi yang menyedikan teknologi deepfake. Deepfake digunakan sebagai alat kejahatan seksual pun sudah marak terjadi di Indonesia. Deepfake pornografi merupakan ancaman yang sangat menghawatirkan di tengah masyarakat. Sebab konten deepfake pornografi yang dibuat umunya sangat sulit untuk diketahui keasliannya. Ironisnya, korban dari deepfake pornografi dapat menimpa pada siapa saja termasuk anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari konten-konten deepfake pornografi, dapat menimbulkan kerugian bagi korban, korban akan terdampak baik secara psikologis maupun emosional, korban dapat mengalami trauma, tercemarnya nama baik, dan kehilangan harga diri. Selain itu, deepfake pornografi juga dapat dijadikan alat sebagai unjuk balas dendam oleh pelaku terhadap korban, karena persebaran konten deepfake pornografi mampu mencemarkan nama baik. Media sosial turut memegang peran terhadap perkembangan deepfake pornografi. Pasalnya, pelaku deepfake pornografi umumnya mendapatkan data-data yang ia butuhkan dari media sosial korban. Kemudian, pelaku deepfake pornografi merekayasa data-data korban dalam bentuk video ataupun gambar sesuai dengan yang ia inginkan tanpa sepengetahuan korban. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa teknologi deepfake yang disalahgunaakan sangat berbahaya dan mengancam publik.

Pelaku deepfake pornografi tanpa dipungkiri telah melakukan perbuatan criminal, yaitu kekerasan seksual, pencurian data pribadi, dan penyebaran informasi palsu. Di  Indonesia, hukum terkait Artificial Intelligence secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan undang-undang tersebut maka, Artificial Intelligence sesungguhnya masuk di dalam definisi Agen Elektronik. Pengaturan mengenai pornografi telah diatur dalam Undang-Undang No.  44  Tahun  2008  Tentang  Pornografi. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi tercantum bahwa, setiap bahwa setiap    orang    dilarang    memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Selain itu, konten deepfake pornografi merupakan perbuatan yang dilarang karena konten di dalamnya mengandung muatan pornografi yang merupakan salah stau pelanggaran kesusilaan, hal ini sebagaimana yang telah tercantum dalam  Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu, bahwa setiap orang yang dengan sengaja  dan  tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat diaksesnya  Informasi  Elektronik  dan/atau  Dokumen  Elektronik  yang  memiliki  muatan  yang melanggar  kesusilaan. Selain itu, dalam Pasal Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga telah diebutkan bahwa, setiap orang dengan sengaja dan tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran  nama  baik

Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, pelaku deepfake pornografi dapat dikenakan pertanggungjawaban, karena telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Namun, pada praktiknya implemntasi pengaturan pundang-undangan tindak pidana pornografi terkait deepfake pornografi masih belum efektif. Hal ini karena masih belum adanya peraturan khusus yang mengatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat menempatkan perhatiannya selain terhadap pelaku, dan kebijakan mengenai penggunaan teknologi deepfake yaitu, terhadap korban. Pemerintah perlu memperkuat regulasi mengenai upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Kekosongan hukum yang masih belum mengatur lebih lanjut mengenai penyalahgunaan teknologi deepfake harus mendapatkan perhatian lebih khusus lagi.

Negara memegang peran dalam pembentukan regulasi maka, sudah seharusnya Negara segera merancang peraturan yang lebih khusus terkait standarisasi penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia. Oleh karenanya berdasarkan paparan diatas bahwa terdapat urgensi untuk adanya standarisasi yang jelas terkait penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan diatas dapat kita ketahui pula bahwa untuk memaksimalkan penegekan hukum yang efektif, menjadi urgenitas untuk membuat peraturan atau regulasi mengenai pemakaian teknologi deepfake perlu diatur secara khusus karena penyalahgunaan teknologi deepfake dapat langsung menjerat pelaku terhadap lebih dari satu tindak kejahatan. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pemanfaatan dan penggunaan teknologi deepfake agar masyarakat tidak mengunakannya untuk melanggar hukum. Berdasarkan kondisi yang telah dijelaskan, dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan teknologi deepfake khususnya deepfake pornografi ini telah menjadi tantangan baru dalam dunia hukum di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Zahrasafa P Mahardika, Angga Priancha. (2021, April 30). Pengaturan Hukum Artifical Intelligence Indonesia Saat Ini. https://www.hukumonline.com/berita/a/pengaturan-hukum-artifical-intelligence-indonesia-saat-ini-lt608b740fb22b7/.

Eva Istia Utawi, Neni Ruhaeni. (n.d.). Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana PBandung Conference Series:. Bandung Conference Series.

Heriani, F. N. (2023, juni 18). Perlu Standardisasi untuk Meregulasi AI di Indonesia. https://www.hukumonline.com/berita/a/perlu-standardisasi-untuk-meregulasi-ai-di-indonesia-lt648ebdde37432/.

Kasita, I. D. (2022). DeepfakePornografi: Tren Kekerasan Gender BerbasisOnline(KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga.

Muhammad Faqih Faathurrahman, Enni Soerjati Priowirjanto. (2022). PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU PENYALAHGUNAAN DEEPFAKES DALAM TEKNOLOGI KECERDASANBUATAN PADA KONTEN PORNOGRAFI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INTERNAL COMPETITITION LDC FH UNTIRTA 2024

 INTERNAL COMPETITITION LDC FH UNTIRTA 2024 Internal Competition adalah kegiatan rutin yang diadakan setiap periode oleh Divisi Kompetisi. T...